Pagi-pagi, bersepatukan motif kotak yang menapak, kulangkahkan kaki di badan luar jalan beraspal dengan semangat. Hangat matahari bisa membuat kalian sehat, kalimat pak Basori—guru Olah Ragaku—terngiang-ngiang di kepala. Kalau masalah itu, sejak SD-pun saya juga tahu pak, batinku pagi itu. Hiruk pikuk kendaraan yang berada pada jalurnya menjadi sebuah stimulus yang terabaikan. Menjadi pengiringku menuju perempatan.
Mobil penumpang umum kubayar agar aku bisa selamat sampai sekolah. Aku duduk bersama penumpang yang membawa pisang. Pisang yang berwarna hijau memenuhi seluruh badan mobil. Membuatku sesak nafas. Tidak hanya itu, penumpang lain jadi tidak punya kesempatan untuk ikut bersama kami. Sekolahku berada dua puluh menit dari rumah.
Begitu sampai di kelas, kulayangkan pandangan ke seluruh penjuru arah. Hari ini ada ulangan matematika dan tidaklah heran teman-teman sibuk berkutat dengan diktat-diktat. Sistem belajar kebut semalam sampai pagi masih menjadi kebiasaan mereka. Berusaha memanfaatkan waktu di saat-saat terakhir. Berharap semua yang dibaca bisa berada di ’luar kepala’ nantinya. Walau pada akhirnya memang benar-benar di luar kepala; melayang entah kemana.
Terkadang ingat pernah melihat, bahkan hapal halaman materi yang tengah diperbincangkan dalam soal hingga mendorong mereka mencuri-curi kesempatan untuk membuka buku di saat ujian berlangsung. Setidaknya bisa memberikan pencerahan. Minimal telah benar menulis rumusnya. Tapi aku tidak mengamini hal yang satu ini. Bagiku ngerpek perbuatan bodoh dan memalukan. Tidak mencerminkan generasi penerus bangsa.
Tidak bisa mengerjakan soal itu biasa. Mana ada guru memberi soal yang mudah, pasti soalnya susah. Terlepas dari itu semua, aku tahu ulangan ya begitu-begitu saja. Kalau dapat nilai jelek, pasti akan diulang. Bukan muridnya yang bodoh tetapi gurunya yang kurang bisa menyampaikan materi dengan baik. Itu prinsipku dan teman-teman sekadar menenangkan di saat hasil yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan.
Pak Gatot guru yang disiplin. Beliau botak dan konvensional. Suaranya cukup lantang, tulisannya juga rapi untuk ukuran laki-laki. Aku melihat langkahnya dari jendela; melihat keriput pipinya yang bergoyang-goyang. Demikian juga dengan teman-temanku. Beliau mulai mendekat, datang kepada kami laksana pencabut nyawa. Membuat kami bergetar dan berdebar. Tetapi aku tak melihat Cantik Kayla, teman sebangkuku. Ia belum datang hingga soal siap untuk dijawab.
”Selamat pagi Pak. Maaf terlambat,” begitu sapa sesal Canti kepada Pak Gatot.
Ritme nafasnya masih belum beraturan. Rambutnya juga acak-acakan.
”Selamat siang,” sindir pak Gatot. ”Sudah pukul tujuh lewat seperempat, kenapa terlambat?”
”Saya harus sarapan dulu Pak. Ibu yang memaksa. Hari ini kan ada ulangan, yaa supaya bisa mengerjakan dengan baik.”
”Kamu kan bisa bangun lebih pagi dan sarapan lebih awal?” protes pak Gatot sambil mengusap kepalanya yang botak. Kami yang melihat adegan ini tertawa geli.
”Masalahnya pak, masakannya baru matang jam setengah tujuh.” kilah Canti.
”Rupanya ibu kamu yang bermasalah. Jangan diulangi lagi. Ini soal ulangan kamu.”
”Baik. Terima kasih Pak.”
Canti kemudian menuju ke arahku sambil manyun dan mengembangkan senyum. Matanya berbinar dan bau minyak telonnya sangat segar. Ia seperti bayi yang baru mandi. Lika-liku lakunya menggemaskan. Rambutnya panjang dan menawan. Meski untuk materi eksak, lemotnya tak tertahankan.
”Aku dapat soal dengan kode A, kamu?” tanyanya padaku.
“B,” jawabku tanpa menoleh.
“Waduh, soalnya gak sama. Mati aku.” Canti menekuri kertas soal dan lembar jawabannya. Tampak sekali kebingungan, tak tahu harus menulis apa. Untuk sementara waktu kukira begitu.
Satu jam berlalu, si Canti terlihat resah dan gelisah. Dia seolah bocah yang menahan kencing, tidak bisa tenang berada pada tempat duduknya. Mencari rumus-rumus di meja yang telah ia siapkan sehari sebelum hari H. Selesai sampai di situ. Baginya, poin dari menulis rumus sangat minim. Mumpung masih tersisa waktu, ia manfaatkan kesempatan itu dan mulai menyikut tanganku.
”Lihat. Sini, lebih dekat,” bisiknya padaku sembari terus waspada dengan satu orang guru yang siap siaga di sana.
Pak Gatot memperhatikan siswa yang gerak-geriknya mencurigakan untuk ditegur. Dengan ’ehm’ saja sudah membuat kami deg-degan setengah mati. Beliau tak segan mengeluarkan siswa yang tertangkap basah melakukan tindak kecurangan. Jadi upaya kita untuk saling bertukar info atau jawaban harus benar-benar rapi. Untung, teman-teman tidak lupa meletakkan koran di meja Pak Gatot, hingga perhatian beliau pada kami menjadi aman terkendali.
Secepat kilat Canti menggerakkan penanya, menulis angka-angka tanpa ragu. Kukatakan dalam hati, tulisannya indah sekali. Begitu rapi dan khas wanita. Tidak ada yang bisa menandinginya, bahkan pak Gatot. Siapa saja pasti mengira tulisan itu merupakan produk mesin tik atau komputer.
”Waktunya sudah habis. Ayo kumpulkan!” suara pak Gatot membangunkanku dan teman-teman. ”Letakkan soal di dalam kertas jawaban kalian.”
Canti dan aku pulang sekolah sama-sama; rumah kami searah. Di atas trotoar, dengan panas siang yang begitu memanggang, kami berdiri cukup lama demi angkutan kota. Lebih lama daripada upacara bendera. Susahnya membuat mereka berhenti untuk mengangkut kami. Tarif angkota untuk penumpang umum dan pelajar memang berbeda. Pelajar sekolah tarifnya lebih rendah seribu rupiah.
Ketika siang, laju angkota sangat lamban. Mulut Canti dikunci oleh lelah dan rasa gerah. Satu jam perjalananan pulang yang membosankan.
”Ayo, mampir rumahku. Makan dulu.” ujar Canti kepadaku. Angkota berhenti untuk menurunkan Canti.
Tawaran yang menarik. Sebenarnya tidak ingin menolak tapi aku kan harus bekerja, mencuci mobil tetangga. Penghasilan yang kudapat dari sini begitu berarti. Bisa kupakai untuk membeli buku yang diwajibkan sekolah untuk membelinya.
Kadang masih tidak mengerti mengapa mereka begitu memaksa kami untuk membeli buku-buku itu. Alasan yang mereka lontarkan cukup masuk akal, kita harus bisa menghargai karya anak bangsa dengan membeli buku asli; tidak memfotokopi. Ya, ya, ya. Akhirnya dengan berat hati kukatakan pada Canti, ”Maaf, lain kali saja. Aku harus bekerja.”
”Oh, begitu. Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi nanti malam, jadi belajar bersama kan?” tanyanya.
”Ada PR Kimia ya? Boleh. Di rumah Ria seperti biasa kan? Sekalian aku mau mengembalikan buku Matematikanya yang kupinjam.”
Canti mengangguk dan melambaikan tangannya, ”Sampai nanti.”
*
Aku kaget saat tiba-tiba Canti sudah berada di depan, berdiri di antara pintu dan jendela. Ini kali pertama dia datang. Perempuan pertama yang menginjakkan kakinya di rumahku. Seperti halnya aku, dia juga kaget melihat keadaan rumahku yang agak berantakan. Ibu dan dua adik perempuanku yang sibuk meladeni ayahku yang mau ini-itu.
”Maaf. Aku datang tanpa bilang. Ini, kubawakan jeruk. Terima kasih sudah bantu aku tadi pagi,” ujar Canti.
Kulihat dia memberikan senyum sepintas, masuk melewati pintu rumahku, kepada semua orang yang memperhatikan kami.
”Sama-sama.”
Kubawa sekilo jeruk pemberiannya ke dalam rumah tapi ia kubiarkan saja di luar sana. Tidak kupersilahkan masuk. Kurasa situasinya kurang pas untuk dia tahu persis kondisi keluargaku. Aku mengganti sarungku dan bersiap berangkat.
”Ayo, kita ke rumah Ria.” aku menggiringnya, berjalan menuju rumah Ria.
”Siapa tadi? Kenapa?” tanya Canti kepadaku.
Aku sudah mengira ia pasti akan menanyakannya.
”Ayahku kena stroke. Satu bulan ini ia tak sadar sepenuhnya. Meracau saat berbicara. Selalu mengeluh badannya panas dan selalu ingin berendam air es. Mengamuk saat kesakitan di bagian perutnya.”
”Gak dibawa ke dokter?”
”Sudah. Bahkan kami juga membawanya ke dukun.”
”Lalu, berobat jalan berarti?”
”Biaya rawat inap rumah sakit terlalu tinggi sedangkan dukun mengatakan sudah tidak ada harapan. Kata ‘orang pintar’, ayahku kena santet. Kami semua angkat tangan.”
Aku tidak bisa menghentikan Canti memandangku dengan tatapan iba. Aku menduga ia memikirkan solusi yang berarti untuk masalahku dan keluargaku. Yang pasti solusi itu akan sangat sulit untuk ditemui. Pasrah, itulah jawabnya. Kami menyadari bahwa ajal ayahku sudah semakin dekat. Tak diragukan lagi. Tinggal menunggu waktu.
Rumah Ria remang-remang. Ruang tamu yang luas memiliki lampu berwarna kuning 25 watt, berada di tengah-tengah antara ruang tamu dan ruang tengah. Ria sudah menungguku dan Canti duduk manis di balik meja ruang tamunya.
”Bagaimana ulangan matematikanya tadi, sulit tidak?” tanya Ria kepada Canti. Ria dan aku memang berbeda kelas. Untuk pengalaman mengerjakan ulangan matematika dari pak Gatot, kelas Ria-lah yang pertama.
”Gak tau Re. Yang lalu biarlah berlalu.” ujar Canti.
”Bagaimana denganmu?” Ria beralih kepadaku dengan tipe pertanyaan senada.
”Ya begitulah.” jawabku. ”Makasih.”
Kukembalikan buku Ria pada empunya buku.
”Sama-sama.”
”Kalau saja waktunya bisa lebih banyak.” Canti berandai-andai.
”Kenapa memang?” Ria bertanya.
”Canti telat. Siapa suruh jadi orang lelet. Pakai alasan harus sarapan.”
”Jangan ngawur kamu. Memang begitulah adanya.” Canti melotot.
”Lo, ya harus itu. Sarapan dulu biar gak lemes. Kenapa sarapan bisa buat telat?” tanya Ria spontan.
”Aku baru makan jam tujuh kurang dua puluh. Hihi.” kata Canti.
”Pantas saja.”
Hm, PR Kimia kami begitu banyak. Seratus soal yang mengerikan, membuat kami kewalahan. Kulihat Canti sudah mulai ngantuk. Matanya terlihat lelah karena pencahayaan yang rendah. Ria menggerutu terus menerus. Dia tak henti-hentinya makan camilan. Crackers itu tidak disediakan untuk kami.
”Kapan sih ulangan Matematikanya dibagi?” tanya Canti.
”Kalo kalian lusa. Aku besok.” kata Ria.
”Waduh, aku dapat nilai berapa ya?” Canti bertanya sendiri sambil meneguk minumannya.
”Hanya Tuhan yang tahu,” kataku lirih.
Pukul sembilan kami pulang. Jalanku dan Canti berbeda. Dia ke kiri sedangkan aku ke arah kanan. Kami berpisah di persimpangan. Pulang sendiri-sendiri. Aku melihatnya berjalan semakin jauh. Menatap ukuran tubuhnya yang kecil. Rasanya ukuran otak di kepalanya juga mini.
Saatnya pak Gatot memberikan hasil ulangannya kepada kami hari ini. Kelas kami begitu sunyi. Tidak seperti biasanya, udara pagi di dua hari terakhir memang lebih dingin. Teman-teman diliputi ketegangan. Demikian juga aku dan Canti. Satu persatu pak Gatot memanggil nama kami. Acak dan tidak urut sesuai abjad.
Beberapa dari teman kami ada yang senyumnya mengembang ketika menerima hasil ulangannya dan yang lain meremasnya kemudian melemparkan kertas yang tak bersalah itu ke dalam kolong meja.
”Aris.” seru pak Gatot.
”Iya pak.”
Aku maju dan menerima hasil jerih payahku. Tidak lama Canti juga menerima lembar jawabannya. Aku tertunduk lesu melihat nilaiku. Benar-benar bukan nilai yang kuharapkan. Hanya delapan puluh. Kukira jawabanku benar semua karena tidak ada coretan kesalahan. Rasa kecewa juga terjadi pada Canti. Wajahnya merah padam. Kentara sekali air matanya menggenang di pelupuk mata yang sayu itu. Hanya ia menahannya agar jangan sampai jatuh. Kukira untuk sementara waktu.
”Mengapa Anda tidak memberi saya nilai pak?” Canti bertanya dengan wajah mengiba.
”Kamu tidak disiplin.”
”Karena saya terlambat?”
”Bukan. Karena kamu tidak menuliskan kode soal dalam lembar jawabanmu.”
Canti menelan ludahnya dan berkata, ”Kalau saya menuliskan kode soal itu,
saya akan dapat nilai berapa pak?”
”Delapan puluh.”
Mulut Canti menganga karena tidak percaya. ”Manusia kan bisa lupa pak?”
”Buktinya teman kamu tidak ada yang lupa. Jangan banyak alasaan.”
Canti, kasihan sekali kamu. Andai aku bisa memberikan separoh nilaiku padamu. Andai aku bisa melakukan sesuatu untuk menghapus kesedihan itu. Aku ingin mengembalikan rona wajah ceriamu. Aku ingin membuatmu tetap berkilau seperti biasanya.
”Yakinlah, semua pasti berjalan lancar,” kataku lirih. Kucoba menenangkannya. Canti hanya diam. Tentu saja, bagaimana aku bisa membuatnya tenang dengan kata-kata seperti itu. Aku tidak bisa memikirkan kalimat yang lebih baik. Kalaupun bisa, juga tetap tidak bisa memberikannya nilai yang sangat dia inginkan. Percuma saja. Semoga dia bisa membaca ketulusanku.
Saat istirahat, aku menghadap pak Gatot. Beliau memanggilku. Kebetulan aku juga ingin mengkonfirmasi nilai ulangan Matematikaku.
”Apa yang kamu lakukan dengan lembar soalmu?”
”Maksudnya pak?” tanyaku tidak mengerti.
”Kau jawab semua soal A pada lembar soalmu.” kata pak Gatot dengan tatapan
menyelidik.
”Itu karena saya punya banyak waktu yang tersisa. Daripada nganggur ya saya
kerjakan soal A pak.”
”Seharusnya kamu kumpulkan saja bila kamu sudah selesai.”
”Tapi tidak ada perintah untuk itu.”
”Itu membuat saya berpikir kamu mengerjakannya untuk temanmu itu. Dan saya
tidak mungkin menelan ludah saya sendiri.”
”Saya kan tidak seperti itu pak,” kataku menutupi kebohongan.
”Ini jadi pelajaran buat kamu,” potong pak Gatot.
Sambil menundukkan wajah, aku bertanya, ”Bagaimana dengan ulangan Canti Pak?”
”Ini, berikan padanya. Suruh dia tulis kode soalnya pada lembar jawaban ini.”
”Baik pak.”
Begitulah hari selasaku yang dingin berakhir. Kehangatan tetap mengalir di sela-selanya. Aku menyampaikan berita baik untuk Canti. Dia tak lagi muram. Wajahnya juga tak lagi mendung. Sedang aku, berdendang senang.