senandung selasa

Pagi-pagi, bersepatukan motif kotak yang menapak, kulangkahkan kaki di badan luar jalan beraspal dengan semangat. Hangat matahari bisa membuat kalian sehat, kalimat pak Basori—guru Olah Ragaku—terngiang-ngiang di kepala. Kalau masalah itu, sejak SD-pun saya juga tahu pak, batinku pagi itu. Hiruk pikuk kendaraan yang berada pada jalurnya menjadi sebuah stimulus yang terabaikan. Menjadi pengiringku menuju perempatan.

Mobil penumpang umum kubayar agar aku bisa selamat sampai sekolah. Aku duduk bersama penumpang yang membawa pisang. Pisang yang berwarna hijau memenuhi seluruh badan mobil. Membuatku sesak nafas. Tidak hanya itu, penumpang lain jadi tidak punya kesempatan untuk ikut bersama kami. Sekolahku berada dua puluh menit dari rumah.

Begitu sampai di kelas, kulayangkan pandangan ke seluruh penjuru arah. Hari ini ada ulangan matematika dan tidaklah heran teman-teman sibuk berkutat dengan diktat-diktat. Sistem belajar kebut semalam sampai pagi masih menjadi kebiasaan mereka. Berusaha memanfaatkan waktu di saat-saat terakhir. Berharap semua yang dibaca bisa berada di ’luar kepala’ nantinya. Walau pada akhirnya memang benar-benar di luar kepala; melayang entah kemana.

Terkadang ingat pernah melihat, bahkan hapal halaman materi yang tengah diperbincangkan dalam soal hingga mendorong mereka mencuri-curi kesempatan untuk membuka buku di saat ujian berlangsung. Setidaknya bisa memberikan pencerahan. Minimal telah benar menulis rumusnya. Tapi aku tidak mengamini hal yang satu ini. Bagiku ngerpek perbuatan bodoh dan memalukan. Tidak mencerminkan generasi penerus bangsa.

Tidak bisa mengerjakan soal itu biasa. Mana ada guru memberi soal yang mudah, pasti soalnya susah. Terlepas dari itu semua, aku tahu ulangan ya begitu-begitu saja. Kalau dapat nilai jelek, pasti akan diulang. Bukan muridnya yang bodoh tetapi gurunya yang kurang bisa menyampaikan materi dengan baik. Itu prinsipku dan teman-teman sekadar menenangkan di saat hasil yang diharapkan tak sesuai dengan kenyataan.

Pak Gatot guru yang disiplin. Beliau botak dan konvensional. Suaranya cukup lantang, tulisannya juga rapi untuk ukuran laki-laki. Aku melihat langkahnya dari jendela; melihat keriput pipinya yang bergoyang-goyang. Demikian juga dengan teman-temanku. Beliau mulai mendekat, datang kepada kami laksana pencabut nyawa. Membuat kami bergetar dan berdebar. Tetapi aku tak melihat Cantik Kayla, teman sebangkuku. Ia belum datang hingga soal siap untuk dijawab.

”Selamat pagi Pak. Maaf terlambat,” begitu sapa sesal Canti kepada Pak Gatot.

Ritme nafasnya masih belum beraturan. Rambutnya juga acak-acakan.

”Selamat siang,” sindir pak Gatot. ”Sudah pukul tujuh lewat seperempat, kenapa terlambat?”

”Saya harus sarapan dulu Pak. Ibu yang memaksa. Hari ini kan ada ulangan, yaa supaya bisa mengerjakan dengan baik.”

”Kamu kan bisa bangun lebih pagi dan sarapan lebih awal?” protes pak Gatot sambil mengusap kepalanya yang botak. Kami yang melihat adegan ini tertawa geli.

”Masalahnya pak, masakannya baru matang jam setengah tujuh.” kilah Canti.

”Rupanya ibu kamu yang bermasalah. Jangan diulangi lagi. Ini soal ulangan kamu.”

”Baik. Terima kasih Pak.”

Canti kemudian menuju ke arahku sambil manyun dan mengembangkan senyum. Matanya berbinar dan bau minyak telonnya sangat segar. Ia seperti bayi yang baru mandi. Lika-liku lakunya menggemaskan. Rambutnya panjang dan menawan. Meski untuk materi eksak, lemotnya tak tertahankan.

”Aku dapat soal dengan kode A, kamu?” tanyanya padaku.

“B,” jawabku tanpa menoleh.

“Waduh, soalnya gak sama. Mati aku.” Canti menekuri kertas soal dan lembar jawabannya. Tampak sekali kebingungan, tak tahu harus menulis apa. Untuk sementara waktu kukira begitu.

Satu jam berlalu, si Canti terlihat resah dan gelisah. Dia seolah bocah yang menahan kencing, tidak bisa tenang berada pada tempat duduknya. Mencari rumus-rumus di meja yang telah ia siapkan sehari sebelum hari H. Selesai sampai di situ. Baginya, poin dari menulis rumus sangat minim. Mumpung masih tersisa waktu, ia manfaatkan kesempatan itu dan mulai menyikut tanganku.

”Lihat. Sini, lebih dekat,” bisiknya padaku sembari terus waspada dengan satu orang guru yang siap siaga di sana.

Pak Gatot memperhatikan siswa yang gerak-geriknya mencurigakan untuk ditegur. Dengan ’ehm’ saja sudah membuat kami deg-degan setengah mati. Beliau tak segan mengeluarkan siswa yang tertangkap basah melakukan tindak kecurangan. Jadi upaya kita untuk saling bertukar info atau jawaban harus benar-benar rapi. Untung, teman-teman tidak lupa meletakkan koran di meja Pak Gatot, hingga perhatian beliau pada kami menjadi aman terkendali.

Secepat kilat Canti menggerakkan penanya, menulis angka-angka tanpa ragu. Kukatakan dalam hati, tulisannya indah sekali. Begitu rapi dan khas wanita. Tidak ada yang bisa menandinginya, bahkan pak Gatot. Siapa saja pasti mengira tulisan itu merupakan produk mesin tik atau komputer.

”Waktunya sudah habis. Ayo kumpulkan!” suara pak Gatot membangunkanku dan teman-teman. ”Letakkan soal di dalam kertas jawaban kalian.”

Canti dan aku pulang sekolah sama-sama; rumah kami searah. Di atas trotoar, dengan panas siang yang begitu memanggang, kami berdiri cukup lama demi angkutan kota. Lebih lama daripada upacara bendera. Susahnya membuat mereka berhenti untuk mengangkut kami. Tarif angkota untuk penumpang umum dan pelajar memang berbeda. Pelajar sekolah tarifnya lebih rendah seribu rupiah.

Ketika siang, laju angkota sangat lamban. Mulut Canti dikunci oleh lelah dan rasa gerah. Satu jam perjalananan pulang yang membosankan.

”Ayo, mampir rumahku. Makan dulu.” ujar Canti kepadaku. Angkota berhenti untuk menurunkan Canti.

Tawaran yang menarik. Sebenarnya tidak ingin menolak tapi aku kan harus bekerja, mencuci mobil tetangga. Penghasilan yang kudapat dari sini begitu berarti. Bisa kupakai untuk membeli buku yang diwajibkan sekolah untuk membelinya.

Kadang masih tidak mengerti mengapa mereka begitu memaksa kami untuk membeli buku-buku itu. Alasan yang mereka lontarkan cukup masuk akal, kita harus bisa menghargai karya anak bangsa dengan membeli buku asli; tidak memfotokopi. Ya, ya, ya. Akhirnya dengan berat hati kukatakan pada Canti, ”Maaf, lain kali saja. Aku harus bekerja.”

”Oh, begitu. Ya sudah, tidak apa-apa. Tapi nanti malam, jadi belajar bersama kan?” tanyanya.

”Ada PR Kimia ya? Boleh. Di rumah Ria seperti biasa kan? Sekalian aku mau mengembalikan buku Matematikanya yang kupinjam.”

Canti mengangguk dan melambaikan tangannya, ”Sampai nanti.”

*

Aku kaget saat tiba-tiba Canti sudah berada di depan, berdiri di antara pintu dan jendela. Ini kali pertama dia datang. Perempuan pertama yang menginjakkan kakinya di rumahku. Seperti halnya aku, dia juga kaget melihat keadaan rumahku yang agak berantakan. Ibu dan dua adik perempuanku yang sibuk meladeni ayahku yang mau ini-itu.

”Maaf. Aku datang tanpa bilang. Ini, kubawakan jeruk. Terima kasih sudah bantu aku tadi pagi,” ujar Canti.

Kulihat dia memberikan senyum sepintas, masuk melewati pintu rumahku, kepada semua orang yang memperhatikan kami.

”Sama-sama.”

Kubawa sekilo jeruk pemberiannya ke dalam rumah tapi ia kubiarkan saja di luar sana. Tidak kupersilahkan masuk. Kurasa situasinya kurang pas untuk dia tahu persis kondisi keluargaku. Aku mengganti sarungku dan bersiap berangkat.

”Ayo, kita ke rumah Ria.” aku menggiringnya, berjalan menuju rumah Ria.

”Siapa tadi? Kenapa?” tanya Canti kepadaku.

Aku sudah mengira ia pasti akan menanyakannya.

”Ayahku kena stroke. Satu bulan ini ia tak sadar sepenuhnya. Meracau saat berbicara. Selalu mengeluh badannya panas dan selalu ingin berendam air es. Mengamuk saat kesakitan di bagian perutnya.”

”Gak dibawa ke dokter?”

”Sudah. Bahkan kami juga membawanya ke dukun.”

”Lalu, berobat jalan berarti?”

”Biaya rawat inap rumah sakit terlalu tinggi sedangkan dukun mengatakan sudah tidak ada harapan. Kata ‘orang pintar’, ayahku kena santet. Kami semua angkat tangan.”

Aku tidak bisa menghentikan Canti memandangku dengan tatapan iba. Aku menduga ia memikirkan solusi yang berarti untuk masalahku dan keluargaku. Yang pasti solusi itu akan sangat sulit untuk ditemui. Pasrah, itulah jawabnya. Kami menyadari bahwa ajal ayahku sudah semakin dekat. Tak diragukan lagi. Tinggal menunggu waktu.

Rumah Ria remang-remang. Ruang tamu yang luas memiliki lampu berwarna kuning 25 watt, berada di tengah-tengah antara ruang tamu dan ruang tengah. Ria sudah menungguku dan Canti duduk manis di balik meja ruang tamunya.

”Bagaimana ulangan matematikanya tadi, sulit tidak?” tanya Ria kepada Canti. Ria dan aku memang berbeda kelas. Untuk pengalaman mengerjakan ulangan matematika dari pak Gatot, kelas Ria-lah yang pertama.

”Gak tau Re. Yang lalu biarlah berlalu.” ujar Canti.

”Bagaimana denganmu?” Ria beralih kepadaku dengan tipe pertanyaan senada.

”Ya begitulah.” jawabku. ”Makasih.”

Kukembalikan buku Ria pada empunya buku.

”Sama-sama.”

”Kalau saja waktunya bisa lebih banyak.” Canti berandai-andai.

”Kenapa memang?” Ria bertanya.

”Canti telat. Siapa suruh jadi orang lelet. Pakai alasan harus sarapan.”

”Jangan ngawur kamu. Memang begitulah adanya.” Canti melotot.

”Lo, ya harus itu. Sarapan dulu biar gak lemes. Kenapa sarapan bisa buat telat?” tanya Ria spontan.

”Aku baru makan jam tujuh kurang dua puluh. Hihi.” kata Canti.

”Pantas saja.”

Hm, PR Kimia kami begitu banyak. Seratus soal yang mengerikan, membuat kami kewalahan. Kulihat Canti sudah mulai ngantuk. Matanya terlihat lelah karena pencahayaan yang rendah. Ria menggerutu terus menerus. Dia tak henti-hentinya makan camilan. Crackers itu tidak disediakan untuk kami.

”Kapan sih ulangan Matematikanya dibagi?” tanya Canti.

”Kalo kalian lusa. Aku besok.” kata Ria.

”Waduh, aku dapat nilai berapa ya?” Canti bertanya sendiri sambil meneguk minumannya.

”Hanya Tuhan yang tahu,” kataku lirih.

Pukul sembilan kami pulang. Jalanku dan Canti berbeda. Dia ke kiri sedangkan aku ke arah kanan. Kami berpisah di persimpangan. Pulang sendiri-sendiri. Aku melihatnya berjalan semakin jauh. Menatap ukuran tubuhnya yang kecil. Rasanya ukuran otak di kepalanya juga mini.

Saatnya pak Gatot memberikan hasil ulangannya kepada kami hari ini. Kelas kami begitu sunyi. Tidak seperti biasanya, udara pagi di dua hari terakhir memang lebih dingin. Teman-teman diliputi ketegangan. Demikian juga aku dan Canti. Satu persatu pak Gatot memanggil nama kami. Acak dan tidak urut sesuai abjad.

Beberapa dari teman kami ada yang senyumnya mengembang ketika menerima hasil ulangannya dan yang lain meremasnya kemudian melemparkan kertas yang tak bersalah itu ke dalam kolong meja.

”Aris.” seru pak Gatot.

”Iya pak.”

Aku maju dan menerima hasil jerih payahku. Tidak lama Canti juga menerima lembar jawabannya. Aku tertunduk lesu melihat nilaiku. Benar-benar bukan nilai yang kuharapkan. Hanya delapan puluh. Kukira jawabanku benar semua karena tidak ada coretan kesalahan. Rasa kecewa juga terjadi pada Canti. Wajahnya merah padam. Kentara sekali air matanya menggenang di pelupuk mata yang sayu itu. Hanya ia menahannya agar jangan sampai jatuh. Kukira untuk sementara waktu.

”Mengapa Anda tidak memberi saya nilai pak?” Canti bertanya dengan wajah mengiba.

”Kamu tidak disiplin.”

”Karena saya terlambat?”

”Bukan. Karena kamu tidak menuliskan kode soal dalam lembar jawabanmu.”

Canti menelan ludahnya dan berkata, ”Kalau saya menuliskan kode soal itu,

saya akan dapat nilai berapa pak?”

”Delapan puluh.”

Mulut Canti menganga karena tidak percaya. ”Manusia kan bisa lupa pak?”

”Buktinya teman kamu tidak ada yang lupa. Jangan banyak alasaan.”

Canti, kasihan sekali kamu. Andai aku bisa memberikan separoh nilaiku padamu. Andai aku bisa melakukan sesuatu untuk menghapus kesedihan itu. Aku ingin mengembalikan rona wajah ceriamu. Aku ingin membuatmu tetap berkilau seperti biasanya.

”Yakinlah, semua pasti berjalan lancar,” kataku lirih. Kucoba menenangkannya. Canti hanya diam. Tentu saja, bagaimana aku bisa membuatnya tenang dengan kata-kata seperti itu. Aku tidak bisa memikirkan kalimat yang lebih baik. Kalaupun bisa, juga tetap tidak bisa memberikannya nilai yang sangat dia inginkan. Percuma saja. Semoga dia bisa membaca ketulusanku.

Saat istirahat, aku menghadap pak Gatot. Beliau memanggilku. Kebetulan aku juga ingin mengkonfirmasi nilai ulangan Matematikaku.

”Apa yang kamu lakukan dengan lembar soalmu?”

”Maksudnya pak?” tanyaku tidak mengerti.

”Kau jawab semua soal A pada lembar soalmu.” kata pak Gatot dengan tatapan

menyelidik.

”Itu karena saya punya banyak waktu yang tersisa. Daripada nganggur ya saya

kerjakan soal A pak.”

”Seharusnya kamu kumpulkan saja bila kamu sudah selesai.”

”Tapi tidak ada perintah untuk itu.”

”Itu membuat saya berpikir kamu mengerjakannya untuk temanmu itu. Dan saya

tidak mungkin menelan ludah saya sendiri.”

”Saya kan tidak seperti itu pak,” kataku menutupi kebohongan.

”Ini jadi pelajaran buat kamu,” potong pak Gatot.

Sambil menundukkan wajah, aku bertanya, ”Bagaimana dengan ulangan Canti Pak?”

”Ini, berikan padanya. Suruh dia tulis kode soalnya pada lembar jawaban ini.”

”Baik pak.”

Begitulah hari selasaku yang dingin berakhir. Kehangatan tetap mengalir di sela-selanya. Aku menyampaikan berita baik untuk Canti. Dia tak lagi muram. Wajahnya juga tak lagi mendung. Sedang aku, berdendang senang.

pacarku

Apa yang aku harapkan tidak selalu menjadi kenyataan. Tidak semua hal yang kuimpikan bisa kesampaian. Tapi kadang-kadang sebuah kenyataan melebihi apa yang kuimpikan. Itulah kamu.

Risma, ia menjadi milikku sekarang. Sudah sekian lama hingga aku tidak bisa lagi menghitung indahnya kisah kasih dengannya. Juga tidak mampu menghitung kilometer perjalanan cinta bersamanya. Hal yang kurasakan adalah bahwa kian hari rasa kupunya semakin bertambah. Tidak peduli berapa sisa waktu dan tenaga. Kan kuberikan padanya jika ia meminta.

Risma itu teman SMA-ku. Ke sekolah kami selalu berangkat bersama. Rumahku tidak jauh dari rumahnya. Tiap pagi aku selalu menjemputnya dengan sepeda ontel yang kupunya. Herannya dia mau-mau saja. Sempat berpikiran dia baik padaku agar bisa dapat contekan ketika ulangan. Tapi ya nggak juga karena tawaran kebaikan itu berasal dariku. Mestinya aku yang pamrih. Hal ini juga tidak benar.

Pada suatu waktu, aku melihatnya menghadang sebuah angkutan. Tapi kasihan karena anak sekolah yang membayar murah tidak mudah diangkut. Dua puluh menit menuju pukul tujuh. Membutuhkan waktu kira-kira setengah jam untuk dapat sampai sekolah. Bisa lebih bila ia tak juga mendapatkan tumpangan. Di kejauhan kulihat dia. Sudah seyogyanya aku memberikan bantuan. Tidak mungkin aku meninggalkan teman sekelas di jalan. Membiarkannya terlambat sendirian. Sejak saat itu dia malah keterusan.

Kami juga mulai akrab. Dia menjadi teman curhat. Aku mengajari beberapa materi pelajaran yang tidak ia mengerti. Kami selalu bersama bahkan saat olah raga. Dia membantuku memilihkan kado ultah untuk gebetanku. Sebuah kotak musik berwarna ungu. Dia juga yang membuat kartu ucapannya. Ada tulisan yang indah dalam kartu itu. Kepada teman memang kita harus saling membantu.

Terima kasih kepada Risma. Atas semua bantuannya aku bisa melupakan masa laluku. Mengejar gadis ini-gadis itu yang tak kunjung menjadi milikku. Mungkin ia tidak menyadari hal yang ia lakukan menghapus dukaku. Bahkan tawanya membuat hariku terasa indah. Sukaku kemudian beralih padanya. Tapi tak kuungkap rasaku mengingat pengalamanku. Jadilah aku menikmati dia kala di sisiku.

I do love you! Akhirnya kunyatakan juga perasaanku. Setelah satu tahun mulai dekat dengannya. Aku tahu saat itu saat yang tepat. Aku merasakan sinyal beda yang diberikan Risma kepadaku. Aku yakin ia juga merasakan percikan cinta seperti yang aku rasa. Begitu kuucap kalimat itu, Risma tidak berkata tidak. Juga tidak ada kata ‘iya’ terucap dari mulutnya. Risma hanya tersenyum dan mengangguk. Pertanda setuju akan apa yang kumau. Aku menyukai hubungan kami. Mengalir seperti air.

Aku tahu Risma sedari awal. Aku sadar ia dibesarkan dalam sebuah keluarga yang ‘berada’ walau berasal dari desa. Aku berusaha mengimbangi Risma beserta gaya hidupnya. Risma dengan kehidupan hedonisnya. Aku ingin menyenangkannya. Membuatnya bahagia adalah hasratku. Tidak mungkin bagiku menyakiti hatinya. Aku akan terus berusaha. Tidak akan berhenti mengusahakannya.

Hingga saat kami kuliah bersama. Risma makin menggila. Ia tidak mau dicap kampungan. Tren busana tidak mau ia lewatkan. Segala macam aksesori dan sepatu haruslah padu dengan baju. Tempat tongkrongan baru menjadi hal seru. Dan dugem menjadi kebiasaan yang tidak mau ia tinggalkan. Ia pergi bersama teman-temannya. Bukan denganku.

Hampir setiap minggu ia selalu mengajakku jalan-jalan. Bukan jalan pagi yang menyehatkan melainkan putar-putar mal tak karuan. Memang tak bertujuan. Dalihnya melepas penat setelah capek kuliah. Hasilnya baju baru untuk pesta, blazer hitam untuk wawancara kerja, dan benda lain yang lucu—yang entah kapan barang itu akan ia gunakan. Aku hanya mengikutinya. Menjadi pembawa tas plastik belanjaannya. Manekin itu hanya menatapku iba. Tanpa bisa berbuat apa-apa.

Hari ini Risma tampak ceria. Wajahnya begitu berseri-seri. Terdengar dari suaranya melalui HP. Ia tahu bahwa tiba saatnya aku mengambil Beasiswa Unggulan. Pasti itu yang membuatnya bahagia.

“Mad, jam berapa kamu nanti ambil beasiswa?” tanya Risma disela-sela tawa orang-orang di sekitarnya.

“Pulang kuliah. Jam dua,” jawabku.

“Nanti malam kita nonton ya?” ajaknya.

“Nonton apa?”

“AAC. Ayat-ayat Cinta”

“Lo, bukannya kamu sudah nonton bareng temanmu?” aku bertanya heran.

“Tapi denganmu kan belum. Aku ingin kamu tahu film itu.”

 

Oke. Akhirnya aku menuruti juga mau Risma. Walau dalam hati aku tidak begitu suka film yang mendayu-dayu. Setelah nonton, Risma mulai berceloteh panjang lebar mengomentari film itu. Poligami yang tidak ia setuju walau bagaimana situasi yang mendasarinya. Kemudian ia ingin aku meyakinkannya bahwa aku tidak akan menduakan cintanya. Kelak bila aku menikahinya. Pun saat memacarinya.

Risma merajuk. Aku hanya mengangguk. Tentu saja aku akan melakukannya. Aku tidak akan berpaling darinya. Siapapun yang menjadi kekasih pertamaku, ia akan menjadi istriku. Itu janji yang akan kutepati. Janji kepada diri sendiri.

“Mad, lihat deh. Lucu ya boneka itu. Ada tulisan ‘me to you’. Gemas lihatnya.”

Risma menunjuk sebuah boneka berwarna biru di sebuah toko berlogo separo matahari.

“Kamu mau?” tanyaku.

“Iya,” jawab Risma manja.

Boneka itu kubeli untuk Risma. Hadiah untuknya karena menjadi tambatan hatiku yang setia. Risma memeluk bonekanya dan lebih memilih membawanya begitu saja. Ia tidak mau sang pramuniaga memasukkan boneka itu ke dalam plastik. Risma kemudian memberikan isyarat lapar. Kami melenggang pelan menuju tempat makan.

Malam itu tentenganku banyak sekali. Semua milik Risma. Tangan kiriku ada sekotak berisi sepatu sedang tangan kananku ada baju baru. Risma sibuk dengan bonekanya dan lengan kanannya menggamit lengan kiriku. Aku puas telah membuat Risma gembira. Kulirik dia tersenyum bahagia sambil tidak bisa melepaskan pandangan ke sesuatu yang menarik perhatiannya. Tapi aku lelah.

Di akhir kebersamaan kami, Risma tiada henti mengucapkan terima kasih. Yang tersisa hanya mataku yang terasa berat juga kepalaku yang pening. Ingin cepat sampai kos untuk mengembalikan energi. Memulihkan diri.

Sesaat sebelum berpisah Risma berkata, “Pengumumannya sudah ada padaku.”

“Pengumuman apa?” tanyaku tak mengerti.

“Akhmad, kamu mendapatkannya. Beasiswa Mapres.”

“Oh ya?” aku mengerjapkan mata. Bertanya tak percaya.

“Iya. Selamat ya!” Risma menyunggingkan tawa yang kusuka.

 

Beasiswa itu diberikan oleh suatu yayasan sosial yang concern terhadap pendidikan di Indonesia. Mereka yang berprestasi berhak memperolehnya. Tentu saja melalui seleksi. Risma yang mengetahui info tentang beasiswa itu. Ia yang mendaftarkan aku. Segala kelengkapan administrasi, Risma juga yang mempersiapkan. Termasuk menulis esai sebanyak seribu kata.

Itulah Risma. Aku bangga atas jerih payahnya. Semua hal yang ia lakukan padaku termasuk menjaga cintanya untukku. Apa yang kuberi untuknya memang layak diperolehnya. Aku cinta Risma apa adanya. Ialah gadisku. Risma itu pacarku.

pria kamboja

Di ujung gang dalam sebuah perumahan, tampak sebuah bangunan yang berarsitektur Belanda. Bangunannya total berwarna putih. Hanya saja di sekeliling rumah bernomor K-15 ini terdapat batu kali besar-besar berwarna hitam menempel pada dindingnya. Tekstur kasar setinggi pinggang orang dewasa itu mengingatkan kita pada Dalmatians 101. Banyak bonsai bunga Kamboja tertata rapi di halamannya.

Rupanya sang empunya rumah menyukai tanaman ini. Karena hampir semua bunga yang berwarna-warni itu begitu terawat. Tidak ada daun berwarna kuning yang terlewat dan masih tertancap pada batangnya.

Gelap malam berhasil disibakkan oleh pendar cahaya lampu yang berasal dari rumah itu. Juga dari beberapa rumah lain yang berjarak lima kavling. Perumahan ini masih sepi. Banyak ruang kosong di sana-sini. Kita bisa melihat jarang bangunan dan dapat merasakan suasananya begitu sunyi. Mungkin karena malam hari. Sulit bagi kita menjumpai orang yang berlalu lalang. Tapi siapa saja mampu menemukan ilalang dan padang membentang.

Tidak jauh dari K-15, kita bisa menemukan sawah yang ramai karena penghuninya sudah memulai aktivitasnya. Katanya, musim penghujan adalah musim kawin bagi katak. Katak jantan akan bernyanyi untuk memikat lawan jenisnya. Sebuah lapangan bola yang berisi dua gawang menjadi tetangga K-15 dan tempat yang ditumbuhi banyak tanaman padi.

Dari dalam rumah itu, tampak seorang penghuni yang hidup sendiri. Baginya, detik waktu berjalan begitu lambat. Seperti peluru musuh yang akan mengenai Keanu Reeves di adegan film The Matrix dalam laju slow motion. Kamboja berdiam di sofa putihnya sambil memandangi dua belas angka yang berbingkai kayu indah. Penunjuk waktu berbentuk persegi itu tepat di hadapannya, di atas kepalanya. Hanya lima langkah dari tempat dia berada untuk bisa meraih atau menggapainya.

Kamboja biasa mengambil jam dinding di ruang tengah rumahnya dan mengganti jarum pendeknya menjadi ‘h minus dua’. Hal ini Kamboja lakukan saat dia mulai menunggu sang suami tercinta. Lingerie seksi sudah dipakai untuk menyambut kedatangan Jaka. Biasanya berwarna merah.

Jam menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh malam waktu Kamboja. Sedangkan pria yang ditunggu tak kunjung datang. Tapi Kamboja selalu bersabar. Waktu luang yang tersisa dari total aktivitasnya sebagai marketing executive yang begitu padat, dia gunakan untuk membaca majalah. Mencoba mencari sumber inspirasi gaya bercinta apa yang begitu menggoda untuk dipraktekkan dengan Jaka malam ini. Atau sekedar mencuci mata dengan melihat tren fashion yang sedang in. Semua yang Kamboja lakukan setidaknya bisa menghapus rasa lelah dan mengusir kantuk yang mulai mengetuk mata.

Melihat model dalam majalah yang sedang berpose menampilkan ragam busana, laksana melihat dirinya tercetak di sana. Memang, Kamboja adalah wanita yang begitu menarik dan penuh rasa percaya diri. Dia itu sosok yang mempunyai rona wajah Asia asli dan memiliki aura keindahan yang tiada bertepi. Senyum tulus selalu terlihat mengembang dan pancaran kasih sayang dapat diciptakan olehnya kapan saja. Mudah diajak bertukar pikiran dan seorang good listener merupakan sisi positif lain yang dimiliki wanita dua puluh tujuh tahun itu.

Siapa sih yang tidak terpikat oleh pesona yang mampu Kamboja pancarkan kepada setiap pria yang ditemuinya. Mereka yang menjadi rekan kerja atau kliennya. Teman-teman lama juga bingung mencari nomer Kamboja yang bisa dihubungi dan berusaha meneliti keberadaannya. Beberapa pria harus bersusah payah untuk mendapatkannya. Mereka yang punya nasib baik saja bisa memilikinya.

Dalam kurun waktu dua bulan, empat dari sembilan pria yang nekat memikatnya menjadi kekasihnya. Tapi bagi pria-pria itu, menjadi kekasih seumur jagung Kamboja sudah merupakan anugrah. Adalah hal yang membanggakan bisa memacarinya.

Sebenarnya motif Kamboja tidak jauh beda dengan para pria itu. Intinya ada pada kata senang. Hanya kesenangan yang ia inginkan. Bila sudah terpuaskan, gampang saja bagi Kamboja mengeluarkan mereka dari kehidupannya. Labil memang. Itulah yang ia lakukan dulu. Berganti pacar setiap waktu. Sebelum akhirnya berjumpa dengan Jaka di jalan raya.

Suatu waktu, dalam keadaan yang tidak bisa diduga oleh Kamboja, ia merasa mobil yang dikendarainya berjalan pincang. Dengan kondisi ban kempes, ia berusaha mencari tempat tambal ban yang ternyata tidak jauh dari area dimana ia terkena celaka.

Saat Kamboja mengundang tukang tambal ban untuk membenahi ban mobil yang terparkir di seberang jalan, pencuri membobol pintu mobil dan mengambil laptop yang tersimpan manis di kursi belakang. Dia hanya bisa merasakan darahnya ber-spirnt menuju kepala dan jantungnya. Tapi rasanya beda ketika ia sedang orgasme. Keringat yang muncul dari kulitnya tidak sama seperti ketika ia mendapatkan The Big O.

            Kamboja tidak bisa berpikir dan hanya bisa menangis. Hal yang dia tangisi adalah keberuntungannya. Untung perampok itu tidak membacok tangannya sampai patah. Hii, ngeri juga Kamboja membayangkan dirinya bila mengalami hal itu.

Di saat yang kurang tepat, seorang polisi yang sedang patroli lewat. Menyaksikan mobil berada di tempat yang tidak lazim, sang pria berseragam turun dari kendaraannya.

“Selamat sore.” Sapa polisi itu.

Dengan menyeka air mata dari pipinya, Kamboja hanya menganggukkan kepala.

“Maaf, apa Anda tidak melihat bahwa disamping mobil Anda terdapat rambu-rambu lalu lintas. Anda tahu artinya apa?” Pak polisi bertanya.

Polisi ini berbahasa sopan tapi basi sekali. Kamboja melihat sebuah tiang bergambar huruf P yang tercoret melintang kekanan. Tentu saja ia tahu arti rambu-rambu itu.

“Maaf, ban saya kempes,” Kamboja menatap pak polisi yang mempunyai bodi oke.

“Bisa lihat SIM dan STNK Anda?” Pak polisi berkata ramah.

“Pak Jaka, saya baru saja kecopetan…” belum selesai Kamboja mengucapkan kalimatnya, pak polisi yang bernama Jaka Purwoko itu menyela,

“Kecopetan?” Pak Jaka bertanya sambil melirik mobil Kamboja dan berusaha menahan tawa. “Bagaimana mungkin? Jangan banyak alasan!”

Pikirnya kecopetan hanya bisa dialami oleh mereka yang menumpang kendaraan umum saja. Huh, sembarangan! Kamboja menggerutu dalam hati. Atau istilah yang kugunakan salah? Kamboja masih bertanya pada hatinya. Dengan jengkel namun tetap tenang, Kamboja mengeluarkan benda yang diminta oleh Pak Jaka dari dompetnya dan menyerahkannya pada sosok yang begitu matang tapi masih terlihat bugar itu.

“Saya harus menilang Anda karena melanggar tata tertib lalu lintas,” kata Pak Jaka kemudian.

“Tidak bisakah Anda memberi toleransi? Perampok baru saja mengambil laptop saya.”

“Oh. Apakah itu benar?”

“Tanya saja pada bapak itu,” Kamboja menunjuk tukang tambal ban.

“Apa benar?”

“Yang saya tahu ban ibu ini kena paku. Dia menyuruh saya menambal bannya. Saat saya mau mengambil ban yang masih berada di porosnya, ibu ini tahu-tahu menangis.”

“Kenapa menangis?” ia bertanya pada Kamboja. Saat kalimat ini meluncur dari bibir polisi yang rambutnya sudah mulai beruban itu, tukang tambal ban bilang,

“Bannya sudah saya pasang Bu.”

Kamboja mengerti isyarat ini. Ia lantas memberikan beberapa lembar uang sepuluh ribuan kepada penambal ban dan berkata, “Makasih ya Pak.”

Kemudian Kamboja beralih pada pak polisi, “Kan tadi saya sudah bilang kalau saya habis kecopetan. Itulah yang membuat mata saya basah.”

“Bukan karena Anda habis putus dengan pacar?” Pak Jaka tertawa.

“Oke tilang saja saya,” sebal Kamboja dibuatnya. Bisa-bisanya dia bercanda. Jangan-jangan Jaka Purwoko ini sebenarnya adalah seorang pelawak dan bukannya seorang polisi.

“Maaf, saya hanya bermaksud menghibur Anda. Bagaimana dengan perampok yang baru saja mengambil barang Anda? Anda harus menceritakan detilnya.”

“Nggak usah deh Pak. Saya rela kok. Maaf, saya tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk memburu mereka. Bagi saya, selamat adalah sesuatu yang berharga. Materi bisa dicari.” Sebenarnya hal ini karena Kamboja enggan berurusan dengan polisi lebih lama.

“Bila tidak sekarang, Anda harus menceritakannya nanti atau kapan. Ini untuk kepentingan penyelidikan dan semua orang. Agar kami mendapatkan modusnya. Biar masyarakat dapat lebih waspada. Dan maling harus tetap ditangkap. Anda tidak mau korban berjatuhan karena Anda tidak mau diajak bekerja sama kan?”

Oke. Benar juga apa yang dikatakannya. Kamboja lantas memberikan nomer ponselnya. “Anak buah Bapak bisa menghubungi saya di nomer ini. Nanti saya bisa menceritakannya kepada bawahan Bapak. Sekarang, saya harus pergi.”

Lebih baik berbicara dengan orang lain daripada harus mendengar suaranya lagi, pikir Kamboja. Polisi yang aneh. Dia memberi kartu tilang tapi tetap menyerahkan SIM dan STNK Kamboja plus tanda tangan dan nomer handphone pada kertas yang diberikan padanya. Kamboja bingung tapi Pak Jaka hanya tersenyum. “Sampai jumpa,” katanya.

Lalu, maksudnya apa. Untuk apa dia memberi nomernya. Yang butuh siapa? Malas bila harus menelponmu. Genit begitu. Kamboja mengakhiri kerlingan mata Pak Jaka dengan menutup pintu mobilnya dan pergi jauh darinya.

Sejak pertemuan itu, sebutan Pak Polisi berubah menjadi Mas Jaka. Awalnya memang dia menelpon untuk urusan rampok dan perampokan. Tapi lambat laun, Kamboja dapat merasakan bahwa hubungan mereka lebih dari sekedar teman bahkan lebih dari sekedar hubungan antara masyarakat dengan aparat. Jaka yang mature bisa memahami Kamboja. Mampu mengayomi dirinya. Mereka bisa bersenang-senang berdua walau berasal dari dunia berbeda.

Bagi Kamboja, ini adalah hal baru dan cukup seru. Tapi ia sadar bahwa hidupnya tidak hanya untuk bersenang-senang tapi lebih kepada membangun hidup dan kehidupan. Membina keintiman kemudian berumah tangga. Ya, sudah saatnya. Akhirnya ia menikah dengan Jaka.

Seperti halnya dengan pria-pria yang dulu pernah menjadi teman kencan Kamboja, Jaka juga merasa beruntung mendapatkan wanita dengan karir hebat di usia muda dan bisa melayani pasangannya dengan ritme senada. Kamboja dapat membagi waktu siang dan malam secara seimbang. Dia bisa menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Tidak banyak menuntut dan berbicara santun. Di lain pihak, Kamboja juga mampu memberikan perhatian yang dibutuhkan Jaka. Itulah sebabnya Jaka menikahi Kamboja.

Tidak hanya itu, Kamboja adalah orang yang bisa memahami Jaka. Mau menerima Jaka apa adanya. Dia memiliki kesibukan yang luar biasa. Datang pada saat hari sudah petang dan pergi saat dunia belum terang. Banyak urusan yang harus ia selesaikan. Baik sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan atau apapun yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan hal itu.

Bukannya tidak mau tahu, tapi Kamboja lebih memilih memberikan konsentrasi penuh pada diri sendiri terutama Jaka; seseorang yang menikahi dirinya dua belas bulan lalu. Apapun akan Kamboja lakukan untuk membahagiakan suaminya. Ting tong! Rupanya Jaka sudah datang dan Kamboja merasa hatinya riang. Dengan senyum merekah ia berjalan menuju pintu dan membukanya.

“Bagaimana kabarmu Kam?”

Setelah mencium kening Kamboja, Jaka beralih ke jam dinding dan menggantinya menjadi jam satu. Sudah dua jam Kamboja menunggu. Tahu kebiasaan istrinya, iapun mulai terbiasa mengikuti alurnya. Dari situ, Jaka akan menuju kamar mandi dan membersihkan diri. Sesuatu yang diinginkan Kamboja pada pasangannya.

Demikian juga dengan Jaka yang sebenarnya ingin agar Kamboja berhenti menunggunya. Untuk hal yang satu ini, Kamboja tidak bisa melakukannya. Kemudian Jaka hanya bisa menyerah dengan kesabaran istrinya.

“Sambil menunggumu aku baca majalah Mas. Aku ingin kita mempraktekkan Pijat Lingga dan Yoni.”

“Hm? Pijat apa itu?” kening Jaka berkerut.

“Pijatan lingga itu pijatan untuk kamu sedangkan pijat yoni adalah pijatan untukku. Ini lo, seperti ini.” Kamboja menunjukkan artikel dalam majalah yang baru dibacanya. Dia merasa dirinya sampai fasih karena menunggu Jaka terlalu lama.

“Malas bila harus baca. Ajari aja langsung.”

“Oke.”

 

Selanjutnya, Jaka dan Kamboja bercengkerama menurut cara mereka. Jerih payah Kamboja tersapu oleh teriakan final dirinya. Momen ini berhasil diciptakan oleh Jaka. Tentu saja berkat kolaborasi mereka berdua. Tanpa Jaka mungkin hidup Kamboja menjadi hampa. Kamboja selalu punya malam berbeda. Tetap mengesankan seperti biasa.

Jaka pergi pagi-pagi. Untuk melakukan kembali aktivitas sehari-hari. Menjalani rutinitas sebagai polisi, menjadi suami Kamboja dan Rosa, serta memenuhi peran sebagai bapak dari dua anaknya yang sudah ABG dan masih SD. Walau dirinya dan Jaka menikah di bawah tangan, Kamboja merasa tidak ada masalah dengan hal itu. Ia merasa dapat hidup bahagia bersama Jaka.