seni bertahan hidup ♥ tempe jaket dharmawangsa

Saya dan suami sepakat bahwa makanan yang bisa memuaskan perut bukanlah yang terhidang tipikal sajian kafe-kafe, sebut saja jenis pasta berlumur keju ala Kafe Pisa atau steak versi Boncafe. Bagi kami, hidangan itu tidak wajib dikonsumsi. Kalaupun terlihat sedang berada di sana, itu berarti kami sedang merayakan sesuatu atau lagi ditraktir. Kami lebih berselera apabila makanan yang ‘bersarang’ di perut merupakan masakan khas nusantara. Biasanya punya ciri pedas, ada nasinya dan janganan. Terlebih bila kantong-friendly.

Semenjak pindah ke Apartemen Gunawangsa Manyar bulan April 2013, saya sudah jarang sekali memasak. Kadang rindu masakan yang bisa dihasilkan Khumanis Kuantum Kitchen (ini nama dapur saya di rumah Bangil) seperti sop ayam, kering tempe, balado udang, cah kangkung, krengsengan cecek, ayam kecap, capcai dll (kalau diteruskan bisa panjang). Di ‘petak’ ini saya tidak mungkin masak karena kami hanya memiliki pantry bukan kitchen.

Sudah tidak ada lagi yang namanya telenan, cowek, sutil, mpon-mpon, terasi, wajan, minyak goreng dan aneka saos. Di sini kami hanya memiliki (sekalian inventaris):

2 bh piring makan
1 bh piring ceper
2 bh mangkuk sedang
1 bh pisau
4 bh mug ‘gimmick’
2 bh garpu
1 bh mangkuk sambal
4 bh sendok makan
1 bh sendok teh
4 bh tupperware
1 bh panci serbaguna bergagang
1 unit magicom
1 unit kompor portable

Magicom selain untuk menanak nasi, pernah kami manfaatkan untuk mengolah ikan salmon tapi seringnya kami gunakan untuk membuat ceplok/dadar telur, merebus telur/jagung manis dan mengukus sayur macam brokoli. Kalau mau masak yang ‘berat’ kuatir kamar jadi bau dan kotor plus bisa mengundang semut, kecoa dan aneka serangga. Jadi, beli lebih praktis!

Salah tempat makan yang menyuguhkan makanan favorit kami di Surabaya Timur adalah Warung Tempe Jaket Dharmawangsa. Letaknya berada di sebelah barat jalan raya (setelah perempatan Kertajaya menuju Unair Kampus B), berdiri di teras Berkat Mobil (Jl. Dharmaangsa No. 124); diantara Gg. Gubeng Kertajaya VII-E dengan Gubeng Kertajaya VII-F. Warung yang buka tiap malam dari senin sampai jumat (sabtu-minggu dan hari libur nasional tutup) ini punya TEMPE JAKET (tempe berbalut tepung berbumbu) yang jadi ikon plus urap sayur. Benar-benar rasa rumah.

Kami mengenal tempat ini sejak jaman kuliah (dapat referensi dari seorang teman), kira-kira 10 tahun yang lalu. Rasa tempe jaket-nya tak berubah dan urap sayur yang tetap sama enak dengan sambalnya yang pedas minta ampun. Selain tempe jaket dan urap, kami masih bisa memilih lauk utama seperti udang goreng tepung, telur dadar/ceplok, bandeng presto dan ayam goreng/bakar. Terakhir makan di tempat, saya dan suami habis sekitar Rp. 37.000 (incl es jeruk dan teh hangat). Kami lebih sering ‘mbungkus’ sih! Biasanya sepulang mengerjakan tugas kuliah, suami yang beli, saya menanak nasi.

11-12-13 | IDR 15.000
11-12-13 | IDR 15.000

Bagaimana? Kalau mulut berliur berarti sedang tergiur :p~

Kelemahan makan di warung ini ada dua. Pertama, potensi terkena debu jalanan dan asap kendaraan. Kedua, kapasitas tempat duduk yang terbatas (selain lahan yang miring) sehingga akan sulit bila datang dengan keluarga besar maupun rombongan (max 4 orang).

Penasaran? Silahkan mencoba kelezatan Tempe Jaket Dharmawangsa dan sampai jumpa di postingan selanjutnya.


miartmiaw